Jumat, 29 Juli 2011

CRITICAL REVIEW CHECK AND BALANCES MENURUT UUD 1945


CRITICAL REVIEW
CHECK AND BALANCES MENURUT UUD 1945
Didalam konstitusi negara republik Indonesia (UUD 1945) telah mengatur tentang sistem checks and balances antara lembaga-lembaga negara baik itu lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam melaksanakan uji materi atau judicial review, yakni menentukan apakah isi suatu peraturan baik itu Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda) dan aturan lainnya yang diatur dalam undang-undang, sudah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Oleh sebab itu yang diuji ialah substansi suatu Peraturan Perundang-Undangan, hak inilah yang disebut dengan uji materi.
Lembaga yang mengawal dan menjaga konstitusi secara yuridis formal, biasanya mempunyai hak menguji secara material undang-undang, yakni menguji suatu undang-undang apakah bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UUD atau tidak. Fungsi dasar institusi tersebut, adalah untuk menjaga dan mengawasi agar suatu peraturan yaitu undang-undang tidak sampai melebihi atau bahkan mengurangi ketentuan yang ada pada UUD, selain itu juga agar tidak sampai terjadi penyimpangan terhadap UUD oleh si pembuat undang-undang atau peraturan lainnya. Dalam sistematika ketatanegaraan RI hak tersebut diatas hanya dimiliki oleh mahkamah konstitusi, dan bukan oleh MA (Mahkamah Agung) RI.
Beda halnya dengan Mahkamah Agung, mahkamah ini hanya diberikan wewenang yang boleh dikatakan terbatas karena hanya menguji peraturan yang ada dibawah undang-undang. Dengan kata lain, mahkamah agung hanya mempunyai kewenangan untuk menetapkan sah atau tidaknya suatu peraturan dibawah undang-undang, dengan suatu asumsi bahwa bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi derajatnya.
Separation of Power dengan system check and balances setelah amandemen dilakukan terhadap UUD 1945, maka ada kecendrungan sistem yang digunakan dalam hubungan antar lembaga negara adalah faham pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances.Dalam sistem check and balances lembaga-lembaga negara diakui sedrajat. Tidak ada lembaga negra yang sifatnya superior sebagaimana kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dulu. Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA dan MK memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lain, namun pada prinsipnya lembaga-lembaga Negara saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Inilah inti dari ajaran check and balances.
Praktek pemisahan kekuasaan dengan prinsip Check and Balances di Indonesia dapat dilihat dari uraian berikut :
Ø  Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun demikian Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, bahkan kenyataan menunjukkan sebagian besar UU yang dibahas di DPR berasal dari Pemerintah.
Ø  Pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah.
Ø  DPD juga diberikan kewenangan untuk ikut membahas UU dan mengajukan RUU.
Ø  Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Ø  Dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perppu kekudukannya setingkat dengan UU, meskipun dalam persidangan yang berikutnya harus dibahas dalam DPR, apakah disetujui atau tidak menjadi UU.
Ø  DPR dan DPD (berkaitan dengan UU khusus) bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.
Ø  Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen.
Ø  Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan Tindak Pidana berat, Pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan tidak cakap lagi, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur Impeachment oleh MPR atas usul DPR, dengan sebelumnya melewati pengadilan forum previlegiantium di Mahkamah Konstitusi.
Ø  Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenagan untuk menguji UU (produk hukum yang dibuat DPR) terhadap UUD 45 dan MA dapat menguji peraturan perundang-undanagan dibawah UU (produk hukum pemerintah (executive act) terhadap UU dan keduanya dapat menyatakan suatu peraturan tidak memiliki kekuatan hukum manakala permohonan pengujian dikabulkan.
Ø  Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus ditetapkan dengan UU (hanya khusus perjanjian tertentu).
Kesimpulannya Sebelum Amandemen UUD 45 Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan, sedang setelah amandemen Indonesia memiliki kecenderungan menganut pemisahan kekuasaan dengan sistem check and balances. Dalam sistem check and balances lembaga-lembaga negara diakui sederajat. Tidak ada lembaga negara yang sifatnya superior sebagaimana kedudukan MPR dulu. Lembaga-lembaga Negara memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lain, namun pada prinsipnya lembaga-lembaga negara tersebut saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Sistem check and balances dilembagakan agar mampu mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar