Jumat, 29 Juli 2011

CRITICAL REVIEW KEGAGALAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNMENT


CRITICAL REVIEW
KEGAGALAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
 MEWUJUDKAN GOOD GOVERNMENT

Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah.
Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik di pemerintah daerah. Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.
Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.
Kebijakan desentralisasi dan terjadinya reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma sentralistis kearah desentralisasi riel yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata pada Daerah. Pemberian otonomi ini dimaksudkan khususnya untuk lebih memandirikan Daerah serta pemberdayaan masyarakat.
Seiring dengan diberlakukannya dan dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, jika dilakukan pengkajian mendalam atas perlunya perubahan mendasar sistem Pemerintahan Daerah itu, maka pilihan terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya sudah barang tentu diperkirakan dapat menjawab semangat reformasi yang sekarang memang sedang bergulir, lebih dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat, lebih demokratis dan memenuhi kehendak dan aspirasi masyarakat yang menginginkan pelayanan prima dari aparatur birokrasi, transparan dan akuntabilitas. Kondisi nyata saat ini kita masih dalam tahap konsolidasi yang konsentrasinya masih pada penataan urusan/kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, aset, keuangan, serta penyesuaian-penyesuaian dalam bentuk regulasi dan lain lain.
Dalam menyikapi kebijakan otonomi daerah dan implementasinya ini perlu segera dilakukan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan yang sesungguhnya adalah terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat sebagaimana mestinya oleh aparatur/birokrasi dalam suatu jaringan kelembagaan yang rasional, yang akan dapat menjawab tantangan pelayanan masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah serta mewujudkan good goverment. Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good government) pada saat ini merupakan prioritas utama dalam penegakkan citra pemerintah dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Pemerintah yang sampai saat ini dianggap masih sangat rendah. Dalam rangka itu, sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka tindak lanjutnya diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat dan jelas dan legitimate, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab, serta bebas dari KKN.
Konsep good goverment sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini banyak dibicarakan dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin tidak efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Jadi ada tekanan untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran pemerintahan dalam hubungannya dengan masyarakat dan sektor swasta.
Melalui paradigma good goverment sebagai alternatif penyelenggaraan pemerintahan, potensi masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good goverment tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.
Dalam mewujudkan good goverment terdapat beberapa hambatan utama dalam kaitannya dengan penegakan hukum, antara lain:
1. Anggapan mengenai korupsi yang dianggap sebagai budaya sehingga sulit untuk dirubah.
2. Masih kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam upaya mewujudkan good goverment sehingga hanya menjadi slogan dan hanya menjadi wacana belaka.
Dalam rangka mewujudkan good goverment, hukum tata pemerintahan memegang peranan atau fungsi yang sangat penting, antara lain:
1. Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam praktik operasionalnya, dapat dilakukan dengan cara:
a. Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good goverment) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan semua kegiatan.
b. Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat.
d. Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif, dan bertanggung jawab.
e. Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan.
f. Peningkatan pemberdayaan penyelenggaraan antar dunia usaha dan masyarakat dalam pemberantasan KKN.
2. Sebagai alat/ sarana untuk memberikan dasar yuridis dan panduan dalam upaya
meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan good goverment, terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum dalam memantau kinerja dan perilaku aparat pemerintahan. Dengan adanya suatu sistem penghargaan bagi peran serta masyarakat yang diatur dalam suatu produk hukum yang mempunyai legitimasi/ terpercaya maka diharapkan peran serta masyarakat akan meningkat.

CRITICAL REVIEW CHECK AND BALANCES MENURUT UUD 1945


CRITICAL REVIEW
CHECK AND BALANCES MENURUT UUD 1945
Didalam konstitusi negara republik Indonesia (UUD 1945) telah mengatur tentang sistem checks and balances antara lembaga-lembaga negara baik itu lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam melaksanakan uji materi atau judicial review, yakni menentukan apakah isi suatu peraturan baik itu Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda) dan aturan lainnya yang diatur dalam undang-undang, sudah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Oleh sebab itu yang diuji ialah substansi suatu Peraturan Perundang-Undangan, hak inilah yang disebut dengan uji materi.
Lembaga yang mengawal dan menjaga konstitusi secara yuridis formal, biasanya mempunyai hak menguji secara material undang-undang, yakni menguji suatu undang-undang apakah bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UUD atau tidak. Fungsi dasar institusi tersebut, adalah untuk menjaga dan mengawasi agar suatu peraturan yaitu undang-undang tidak sampai melebihi atau bahkan mengurangi ketentuan yang ada pada UUD, selain itu juga agar tidak sampai terjadi penyimpangan terhadap UUD oleh si pembuat undang-undang atau peraturan lainnya. Dalam sistematika ketatanegaraan RI hak tersebut diatas hanya dimiliki oleh mahkamah konstitusi, dan bukan oleh MA (Mahkamah Agung) RI.
Beda halnya dengan Mahkamah Agung, mahkamah ini hanya diberikan wewenang yang boleh dikatakan terbatas karena hanya menguji peraturan yang ada dibawah undang-undang. Dengan kata lain, mahkamah agung hanya mempunyai kewenangan untuk menetapkan sah atau tidaknya suatu peraturan dibawah undang-undang, dengan suatu asumsi bahwa bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi derajatnya.
Separation of Power dengan system check and balances setelah amandemen dilakukan terhadap UUD 1945, maka ada kecendrungan sistem yang digunakan dalam hubungan antar lembaga negara adalah faham pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances.Dalam sistem check and balances lembaga-lembaga negara diakui sedrajat. Tidak ada lembaga negra yang sifatnya superior sebagaimana kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dulu. Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA dan MK memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lain, namun pada prinsipnya lembaga-lembaga Negara saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Inilah inti dari ajaran check and balances.
Praktek pemisahan kekuasaan dengan prinsip Check and Balances di Indonesia dapat dilihat dari uraian berikut :
Ø  Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun demikian Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, bahkan kenyataan menunjukkan sebagian besar UU yang dibahas di DPR berasal dari Pemerintah.
Ø  Pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah.
Ø  DPD juga diberikan kewenangan untuk ikut membahas UU dan mengajukan RUU.
Ø  Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Ø  Dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perppu kekudukannya setingkat dengan UU, meskipun dalam persidangan yang berikutnya harus dibahas dalam DPR, apakah disetujui atau tidak menjadi UU.
Ø  DPR dan DPD (berkaitan dengan UU khusus) bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.
Ø  Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen.
Ø  Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan Tindak Pidana berat, Pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan tidak cakap lagi, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur Impeachment oleh MPR atas usul DPR, dengan sebelumnya melewati pengadilan forum previlegiantium di Mahkamah Konstitusi.
Ø  Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenagan untuk menguji UU (produk hukum yang dibuat DPR) terhadap UUD 45 dan MA dapat menguji peraturan perundang-undanagan dibawah UU (produk hukum pemerintah (executive act) terhadap UU dan keduanya dapat menyatakan suatu peraturan tidak memiliki kekuatan hukum manakala permohonan pengujian dikabulkan.
Ø  Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus ditetapkan dengan UU (hanya khusus perjanjian tertentu).
Kesimpulannya Sebelum Amandemen UUD 45 Indonesia menganut ajaran pembagian kekuasaan, sedang setelah amandemen Indonesia memiliki kecenderungan menganut pemisahan kekuasaan dengan sistem check and balances. Dalam sistem check and balances lembaga-lembaga negara diakui sederajat. Tidak ada lembaga negara yang sifatnya superior sebagaimana kedudukan MPR dulu. Lembaga-lembaga Negara memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lain, namun pada prinsipnya lembaga-lembaga negara tersebut saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Sistem check and balances dilembagakan agar mampu mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.

ETIKA, AKHLAK DAN MORAL

ETIKA, AKHLAK DAN MORAL
A. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut Ahmad Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
B. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adab kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Kesadaran moral erat hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
C. Akhlak
 Ada   dua   pendekatan   untuk   mendefenisikan   akhlak,   yaitu   pendekatan linguistic (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak   berasal dari bahasa arab yakni  khuluqun    yang menurut loghat diartikan: budi  pekerti, perangai,   tingkah   laku   atau   tabiat.   Kalimat   tersebut   mengandung   segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Secara terminologi kata "budi pekerti" yang terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio atau character. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh hati, yang disebut behavior. Jadi budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang termanifestasikan pada karsa dan tingkah laku manusia.
Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari
Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :
Ø  Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Ø  Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.
Ø  Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.
Ø  Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Ø  Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Disini kita harus bisa membedakan antara ilmu akhlak dangan akhlak itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmunya yang hanya bersifat teoritis, sedangkan akhlak lebih kepada yang bersifat praktis.
Karakteristik Akhlak Dalam Ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesama manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika dan moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Kesimpulan
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Perbedaaan antara etika, moral, dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan akhlak terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan akhlak berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.